Jangan Keliru! Perbedaan Mahram dan Muhrim

Dalam kehidupan sehari-hari, istilah mahram dan muhrim sering kali digunakan dalam konteks hukum Islam. Namun, banyak orang yang masih bingung dengan perbedaan di antara keduanya. Padahal, memahami konsep ini sangat penting untuk menjalani kehidupan yang sesuai syariat.

Banyak dari masyarakat yang memakai kata muhrim alih-alih kata mahram. contohnya dalam kalimat, “Maaf, jangan terlalu dekat, bukan muhrim”. Dalam konteks kalimat itu, kata yang harusnya dipakai adalah mahram, bukan muhrim.

Muhrim

Dilansir dari buku Haram Tapi Bukan Mahram oleh Hanif Luthfi, asal kata muhrim adalah ahrama-yuhrimu-ihraman artinya ‘mengerjakan ibadah ihram’. Muhrim adalah adalah orang yang sedang mengerjakan ibadah ihram, baik haji maupun umrah.

Ketika jamaah haji dan umrah telah memasuki daerah miqat (batas dimulai dan berhentinya perintah ihram), kemudian seseorang mengenakan pakaian ihramnya, serta menghindari semua larangan ihram, maka orang itu adalah disebut muhrim.

Mahram

Sementara istilah mahram dijumpai dalam pembahasan nikah. Mahram adalah perempuan yang tidak boleh dinikahi (dalam permasalahan nikah) atau wanita yang tidak dapat membatalkan wudhu ketika bersentuhan dengan lawan jenisnya (dalam permasalahan bersuci). Dua orang yang punya hubungan mahram diperbolehkan menyentuh satu sama lain, baik bersalaman atau lainnya.

Mahram terbagi menjadi 3 macam. Berikut penjelasannya sebagaimana disarikan dari kitab Hasyiah Al-Bujairimi.

1. Mahram sebab nasab

تحرم نساء القرابة الا من دخلت تحت ولد العمومة او الخوولة
“Seluruh perempuan kerabat/saudara itu mahram terkecuali perempuan yang masuk di bawah mulai dari anak bibi/sepupu (dari ayah) dan anak bibi/sepupu (dari ibu) sampai ke bawah.”

2. Mahram sebab susuan (saudara susuan)

يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب
“Perempuan mahram sebab susuan itu adalah perempuan yang mahram sebab nasab.”

Mahram sebab susuan itu sama dengan apa yang terdapat dalam mahram sebab nasab Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.

3. Mahram sebab nikah
  1. Mertua
  2. Anak tiri (jika sudah sang ayah tiri sudah berhubungan badan dengan istrinya)
  3. Ibu tiri
  4. Menantu
  5. Saudara perempuanya istri

Semuanya ini (mahram sebab nasab, nikah, susuan) dihukumi mahram yang bersifat selamanya. Terkecuali saudara perempuanya istri. Jika istri meninggal atau ditalak (dicerai) maka saudara perempuan (mantan) istri menjadi halal untuk dinikahi.