Kita kerap mendengar nama nabi Khidir di antara 25 nabi dan rasul yang wajib diketahui oleh umat Islam. Nabi Khidir memiliki tempat yang istimewa dalam pandangan umat Muslim. Nama aslinya adalah Balya bin Malkan, dan ia diyakini sebagai keturunan Nabi Nuh dari garis keturunan Sam. Gelar atau kunyah beliau adalah Abul Abbas.
Meski namanya cukup dikenal, keberadaan Nabi Khidir hingga kini masih diselimuti misteri. Sebagian umat Muslim meyakini bahwa beliau masih hidup sampai hari ini.
Nama “Khidir” sendiri bukan nama asli, melainkan sebuah gelar atau julukan. Kata “Khidir” berasal dari “Al-Khidir” yang memiliki arti ‘yang hijau’ atau ‘yang menghijaukan’.
Berikut ini kisah inspiratif dari Nabi Khidir As yang dituangkan dalam surah Al Kahfi ayat 60-82
Ayat 60: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.”
Ayat 61: Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
Ayat 62: Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada pembantunya: “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”
Ayat 63: Pembantunya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”
Ayat 64: Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
Ayat 65: Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Ayat 66: Musa berkata kepada Khidr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”
Ayat 67: Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.
Ayat 68: Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”
Ayat 69: Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.”
Ayat 70: Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”
Ayat 71: Maka keduanya berangkat, hingga ketika keduanya naik perahu, Khidr melubangi perahu itu. Musa berkata: “Apakah kamu melubangi perahu itu untuk menenggelamkannya? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang buruk.”
Ayat 72: Dia berkata: “Bukankah aku telah berkata kepadamu, bahwa kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku?”
Ayat 73: Musa berkata: “Janganlah kamu menghukumku karena aku lupa dan janganlah kamu membebani aku dengan kesulitan dalam urusanku.”
Ayat 74: Kemudian keduanya berangkat, hingga mereka bertemu dengan seorang anak kecil, maka Khidr membunuhnya. Musa berkata: “Apakah kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena membunuh jiwa lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.”
Ayat 75: Dia berkata: “Bukankah aku telah berkata kepadamu, bahwa kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku?”
Ayat 76: Musa berkata: “Jika aku menanyakan kepadamu tentang sesuatu sesudah ini, maka janganlah kamu membiarkan aku menyertaimu; sesungguhnya kamu telah memberi uzur kepadaku.”
Ayat 77: Kemudian keduanya berangkat, hingga mereka datang kepada penduduk suatu negeri, maka keduanya meminta makanan kepada penduduk negeri itu, tetapi mereka tidak mau menjamu keduanya. Mereka mendapati di sana sebuah dinding yang hampir roboh, maka Khidr menegakkannya dengan tangannya. Musa berkata: “Seandainya kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.”
Ayat 78: Dia berkata: “Ini adalah perpisahan antara aku dan kamu; aku akan memberitahukan kepadamu penafsiran tentang apa yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
Ayat 79: Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu.
Ayat 80: Adapun anak muda (kafir) itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran.
Ayat 81: Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).
Ayat 82: Adapun dinding rumah yang aku perbaiki, dan yang engkau ingkari perbaikannya, maka ia adalah milik dua anak kecil di kota yang kita datangi, dan ayah mereka sudah wafat, sedangkan di bawah dinding itu terdapat harta peninggalan ayah mereka untuk mereka berdua. Ayahnya mereka dahulu adalah orang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya mencapai usia dewasa dan mengeluarkan harta mereka yang tersimpan di bawah dinding tersebut, sebab apabila dinding tersebut roboh niscaya harta yang tersimpan tersebut akan terlihat dan kemungkinan akan hilang. Sungguh pengaturan ini merupakan rahmat dari Tuhanmu atas mereka, dan apa yang kuperbuat bukanlah atas kehendakku sendiri. Itulah keterangan dan maksud perbuatan-perbuatanku yang engkau tidak sanggup bersabar terhadapnya.
kisah ini mengajarkan kita untuk tidak buru-buru menyimpulkan, bersabar dalam menghadapi misteri hidup, dan tetap percaya bahwa Allah punya rencana terbaik—meski kita belum paham sekarang.