Di awal sejarah umat manusia, Allah memperkenalkan nilai ketaatan dan keikhlasan melalui kisah dua anak Nabi Adam AS: Qabil dan Habil. Keduanya diperintahkan untuk mempersembahkan kurban sebagai bentuk pendekatan diri kepada Tuhan. Habil menyerahkan hewan ternak terbaik yang ia miliki dengan tulus, sedangkan Qabil hanya memberi hasil panen seadanya tanpa niat yang benar.
Allah menerima kurban Habil karena ketulusannya, namun menolak persembahan Qabil yang tidak ikhlas. Penolakan itu menumbuhkan rasa iri dan amarah dalam diri Qabil. Perasaan tersebut tak terkendali hingga ia memutuskan untuk membunuh saudaranya sendiri, tindakan yang menjadi pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia.
Setelah membunuh Habil, Qabil merasa bersalah namun tidak tahu harus berbuat apa terhadap jasad saudaranya. Ia membawa tubuh Habil, berjalan tanpa arah, hingga ia menyaksikan seekor burung gagak menggali tanah untuk mengubur bangkai gagak lainnya. Dari situ, Qabil belajar tentang penguburan—dan kesadarannya pun tumbuh diiringi penyesalan.
Kisah ini bukan hanya catatan sejarah, tapi juga cermin tentang sifat manusia. Iri hati, jika dibiarkan tumbuh tanpa kendali, bisa melahirkan kejahatan yang bahkan tak pernah dibayangkan. Dalam kisah ini, Qabil tidak hanya kehilangan saudaranya, tetapi juga kedamaian dalam dirinya sendiri.
Melalui kisah Qabil dan Habil, kita diajarkan bahwa amal yang diterima Allah bukan ditentukan oleh jenis kurbannya, tapi oleh keikhlasan dan niat di baliknya. Dan bahwa tindakan kecil yang benar, jika dilakukan dengan tulus, memiliki nilai yang besar di sisi Tuhan.
Hingga kini, kisah ini terus menjadi pelajaran penting bagi umat manusia: bahwa keikhlasan adalah inti ibadah, dan bahwa mengendalikan hati adalah langkah awal untuk mencegah kerusakan yang lebih besar.