Bulan Dzulhijjah adalah bulan penuh berkah yang ditunggu-tunggu oleh setiap Muslim. Ia bukan sekadar penanda akhir tahun Hijriyah, tapi sebuah panggilan istimewa dari Allah untuk kembali memperbaiki diri, memperbanyak amal, dan merasakan kedekatan yang lebih dalam dengan-Nya.
Keutamaan 10 Hari Pertama Dzulhijjah
Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada hari-hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah melebihi hari-hari ini (10 hari pertama Dzulhijjah).” (HR. Bukhari)
Sepuluh hari pertama Dzulhijjah memiliki keistimewaan luar biasa, bahkan lebih mulia dibandingkan sepuluh malam terakhir Ramadan. Ini adalah waktu yang sangat tepat untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan. Entah itu dengan salat, puasa sunnah, sedekah, dzikir, atau sekadar membantu sesama dengan tulus. Setiap amalan yang dilakukan dengan niat ikhlas di waktu ini akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda.
Momen ini adalah peluang emas bagi mereka yang tidak bisa berhaji untuk tetap merasakan manisnya pahala di bulan yang agung ini. Bahkan, meski hanya dengan memperbanyak doa dan istighfar, hati bisa semakin dekat kepada Allah.
Keagungan Puasa Arafah
Tanggal 9 Dzulhijjah dikenal sebagai Hari Arafah, puncak dari ibadah haji. Di Padang Arafah, jutaan jamaah berdiri dalam wukuf, momen paling sakral dalam perjalanan spiritual mereka. Namun, bagi yang belum berkesempatan ke Tanah Suci, ada satu amalan yang dianjurkan untuk menyambut hari ini: puasa Arafah.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Puasa Arafah menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim)
Baca juga: Menyambut Idul Adha dengan Puasa Sunnah di Hari-Hari Mulia
Bayangkan betapa mulianya puasa satu hari yang mampu menghapus dosa selama dua tahun penuh. Ini adalah rahmat Allah bagi hamba-hamba-Nya yang berusaha taat dan memperbaiki diri, meski belum bisa menginjakkan kaki di Makkah.
Puasa ini juga mengajarkan kita arti pengorbanan dan kesabaran, bagaimana menahan hawa nafsu demi mendekatkan diri pada Allah.
Kisah Nabi Ibrahim dan Pelajaran Pengorbanan
Tak lengkap rasanya membahas Dzulhijjah tanpa mengingat kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Kisah ini adalah inti dari makna pengorbanan dan ketundukan pada perintah Allah.
Ketika Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anak yang sangat dicintainya, bukan karena Allah ingin mengambil sesuatu dari hamba-Nya, tapi untuk menguji seberapa besar keimanan dan ketulusan mereka. Ismail, dengan penuh kesadaran, menerima takdir itu dan berkata: “Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. As-Saffat: 102)
Pengorbanan mereka bukan sekadar kisah lama, tapi pelajaran hidup tentang bagaimana melepaskan apa yang kita cintai demi ridha Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin bukan anak yang harus kita korbankan, tapi ego, rasa takut, atau keinginan duniawi yang membuat kita jauh dari Allah.
Mengisi Dzulhijjah dengan Makna
Dzulhijjah mengajarkan kita untuk mengisi waktu dengan makna, bukan sekadar lewat. Jangan biarkan hari-hari yang Allah karuniakan berlalu sia-sia. Mulailah dengan memperbanyak amalan, memperbaiki hubungan dengan sesama, dan membersihkan hati dari rasa dendam, iri, dan kebencian.
Momen ini juga mengingatkan bahwa sesungguhnya hidup adalah tentang ikhlas dan pengorbanan. Mengikhlaskan apa yang paling kita cintai agar Allah memberikan yang lebih baik, baik di dunia maupun akhirat.
10 hari Dzulhijjah adalah ladang pahala yang terbentang luas, peluang pengampunan yang terbuka lebar, dan pengingat akan kisah pengorbanan terdalam umat manusia. Mari manfaatkan waktu ini dengan sebaik-baiknya, agar hati kita semakin bersih, iman semakin kuat, dan kehidupan semakin bermakna.
Semoga Allah menerima setiap amalan kita dan menjadikan Dzulhijjah kali ini sebagai titik balik yang penuh berkah dalam perjalanan spiritual kita.