Pernah dengar istilah “feodal” atau “budaya feodalisme”? Biasanya, istilah ini muncul ketika seseorang terlalu tunduk pada orang yang lebih tinggi statusnya, atau ketika kekuasaan hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Tapi, apa sebenarnya makna feodalisme dan dari mana asalnya?
Asal-Usul Feodalisme
Feodalisme berasal dari kata Latin feodum atau feudum, yang berarti tanah pemberian atau tanah warisan.
Sistem ini berkembang di Eropa pada Abad Pertengahan, sekitar abad ke-9 hingga ke-15, setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi.
Pada masa itu, tanah menjadi sumber kekuasaan utama.
Raja memberikan tanah kepada para bangsawan sebagai imbalan atas kesetiaan mereka. Para bangsawan kemudian menguasai wilayah tersebut dan mengatur kehidupan masyarakat di bawahnya — mulai dari pajak, hukum, hingga pekerjaan rakyat.
Ciri-Ciri Feodalisme
Sistem feodal memiliki pola yang jelas dan kaku:
-
Kekuasaan terpusat pada bangsawan dan raja.
-
Rakyat kecil atau petani bekerja di tanah milik bangsawan.
-
Tanah menjadi simbol kekuasaan dan status sosial.
-
Masyarakat hidup dalam sistem hierarki yang ketat: raja → bangsawan → prajurit → petani.
-
Ketaatan kepada penguasa dianggap wajib dan mutlak.
Dalam sistem ini, rakyat sulit untuk naik status sosial, karena segalanya ditentukan oleh keturunan dan kekayaan.
Feodalisme di Asia dan Indonesia
Meskipun lahir di Eropa, sistem serupa juga pernah ada di Asia, termasuk Indonesia.
Pada masa kerajaan dulu, rakyat harus tunduk pada raja atau bangsawan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, status sosial sangat menentukan cara berbicara dan bersikap.
Misalnya, rakyat harus berbicara dengan penuh hormat, tidak boleh menatap langsung, atau menggunakan bahasa khusus saat berbicara dengan bangsawan.
Sisa-sisa budaya seperti ini kadang masih terasa hingga kini — misalnya dalam dunia kerja atau birokrasi, ketika seseorang lebih menghargai jabatan daripada kemampuan.
Feodalisme di Zaman Modern
Meski sistem kerajaan sudah lama berakhir, “feodalisme modern” masih bisa ditemukan.
Bukan lagi soal tanah atau darah bangsawan, tapi dalam bentuk mentalitas — seperti:
-
Takut mengoreksi atasan meski jelas salah.
-
Menganggap status sosial menentukan nilai seseorang.
-
Merendahkan orang kecil atau bawahan.
Padahal, dalam masyarakat yang adil, setiap orang punya hak dan kesempatan yang sama, tanpa memandang jabatan atau keturunan.
Feodalisme mengajarkan kita tentang bahaya ketika kekuasaan dan status sosial terlalu diagungkan.
Sistem ini bisa menindas, membatasi kebebasan, dan menutup peluang bagi orang yang sebenarnya mampu.
Karenanya, saatnya kita tinggalkan budaya feodal — dan mulai membangun masyarakat yang lebih setara, menghargai kerja keras, dan menjunjung keadilan.
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”
— (QS. Al-Hujurat: 13)