Apa Saja Ghibah yang Diperbolehkan dalam Islam

Ghibah, atau membicarakan keburukan orang lain di belakangnya, sering dianggap sebagai dosa besar dalam Islam. Namun, ada kondisi tertentu di mana ghibah diperbolehkan karena memiliki tujuan syar’i yang jelas dan mendatangkan manfaat.

Al-Qur’an menjelaskan soal larangan ghibah dalam surah Al Hujurat ayat 12,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.

Kondisi Ghibah yang Diperbolehkan

Abduh Zulfidar Akaha dalam bukunya Belajar Dari Akhlaq Ustadz Salafi mengutip perkataan Imam An-Nawawi dari kitab Riyadh Ash-Shalihin tentang kondisi ghibah yang diperbolehkan. Berikut ini penjelasan mengenai enam kondisi tersebut:

1. At-Tazhallum (Pengaduan)

Maksudnya, orang yang terzhalimi boleh mengadu kepada penguasa atau qadhi atau siapapun yang memiliki kekuasaan atau kemampuan tentang orang yang menzhaliminya. Dengan harapan, pihak yang dilapori bisa melakukan tindakan tegas terhadap orang yang berbuat zhalim.

2. Al-Isti’anah (Minta Tolong)

Yakni minta tolong kepada orang yang dianggap mampu untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat maksiat kepada kebenaran. Yang dimaksud di sini adalah upaya untuk menghilangkan kemungkaran.

3. Al-Istifta’ (Minta Fatwa)

Yaitu bertanya kepada orang mufti tentang perbuatan zhalim seseorang terhadap dirinya, dan apa sebaiknya atau apa yang boleh dia lakukan dalam hal ini. Biasanya, kondisi ini berkaitan dengan masalah keluarga. Misalnya, seorang istri yang merasa dizhalimi suaminya atau seorang anak yang merasa dizhalimi oleh orang tuanya.

4. At-Tahdzir wa Nashiha (Peringatan Keras dan Nasehat)

Maksudnya, memberikan peringatan keras dan nasehat kepada kaum muslimin agar menghindari perbuatan dosa, maksiat, dan kejahatan. Dalam hal ini, Imam An-Nawawi memberikan empat contoh, yaitu:

Memberikan jarh (kritikan) kepada para perawi hadits dan saksi.

Musyawarah ketika akan melakukan perbesanan, pernikahan, atau yang semacamnya.

Memberikan nasehat kepada seseorang yang menuntut ilmu dari ahli bid’ah atau fasiq, misalnya dengan cara menjelaskan keadaan sesungguhnya dari syaikh atau guru di mana ia belajar darinya.

Jika di suatu tempat terdapat seorang pejabat yang zhalim atau tidak layak menjadi penguasa di daerah tersebut, hendaknya dilaporkan kepada penguasa yang lebih tinggi atau atasannya agar pejabat tersebut diganti dengan yang lebih baik dan mampu.

5. Orang yang Mendeklarasikan Perbuatan Fasik

Orang yang secara terang-terangan melakukan perbuatan fasik atau bid’ah, seperti minum khamr di tempat umum, merampas hak milik orang lain, meminta dengan paksa, atau melakukan tindakan batil lainnya, dapat disebut berdasarkan perbuatan yang ia lakukan secara terbuka. Namun, haram menyebut atau membicarakan aib-aibnya yang tidak terlihat atau dilakukan secara tersembunyi.

6. At-Ta’rif (Pengenalan)

Maksudnya jika seseorang sudah dikenal dengan panggilan atau sebutan tertentu, maka ia boleh dipanggil atau disebut dengan nama atau gelar tersebut. Boleh menyebutkan kekurangan seseorang jika ia lebih dikenal atau diberi julukan seperti “Si Buta, Si Pincang, Si Cebol, Si Jereng” dan lain sebagainya asal tidak disertai niat untuk merendahkan kekurangannya.