Wudhu adalah salah satu syarat sah dalam menjalankan ibadah seperti salat. Namun, ada berbagai pendapat terkait apakah wudhu batal jika seseorang menyentuh lawan jenis. Masalah ini adalah masalah fikih yang masyhur diperbincangkan oleh masyarakat kita. Inti dari masalah ini adalah sudut pandang dalam memahami firman Allah Ta’ala,
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“… atau jika kalian menyentuh wanita, dan kalian tidak mendapati air, maka bertayammumlah dengan debu yang suci.” (QS. An Nisa: 43)
Pendapat Ulama Mengenai Memegang Lawan Jenis
Mazhab Syafi’i
Menurut Mazhab Syafi’i, menyentuh lawan jenis yang bukan mahram, baik dengan syahwat maupun tidak, dapat membatalkan wudhu. Dalilnya merujuk pada ayat Al-Qur’an:
“Atau kamu menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah…” (QS. An-Nisa: 43)
Mazhab ini menafsirkan kata “menyentuh” (لامستم) sebagai kontak fisik secara langsung, tanpa memandang ada atau tidaknya syahwat.
Mazhab Hanafi
Berbeda dengan Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanafi berpendapat bahwa menyentuh lawan jenis tidak membatalkan wudhu, kecuali jika disertai keluarnya sesuatu (seperti madzi). Menurut mereka, kata “menyentuh” dalam ayat di atas bukan diartikan secara harfiah, melainkan sebagai kiasan untuk hubungan suami istri.
Mazhab Maliki dan Hanbali
Mazhab Maliki dan Hanbali memiliki pandangan yang hampir sama. Mereka berpendapat bahwa menyentuh lawan jenis hanya membatalkan wudhu jika disertai dengan syahwat. Jika tidak ada syahwat, maka wudhu tetap sah.
Tarjih pendapat
Pendapat yang dikuatkan oleh tiga ulama besar abad ini, yaitu Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Syekh Al-Albani rahimahumullah adalah pendapat kedua. Bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudu sama sekali, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat.
Karena dalil-dalil tentang praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak membatalkan wudu ketika menyentuh wanita. Dan sebaik-baik petunjuk dalam memahami ayat adalah petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di antaranya hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قَبَّل امرأةً من نسائِه، ثمَّ خرج إلى الصَّلاةِ ولم يتوضَّأ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencium salah seorang istrinya (yaitu Aisyah sendiri), kemudian beliau keluar untuk salat dan tidak berwudu lagi.” (HR. Abu Daud no. 179, At-Tirmidzi no. 86, Ibnu Majah no. 502, Ahmad [6: 210], disahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Takhrij Al-Musnad [1: 515] dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)
Hadis ini adalah dalil kuat bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudu. Sekaligus juga dalil kuat bahwa menyentuh dengan syahwat pun tidak membatalkan wudu karena umumnya ciuman itu disertai syahwat.
Dalil yang lain, dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
كنتُ أنام بين يَدَي رسولِ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ورِجلاي في قِبلَتِه، فإذا سجَد غمَزَني، فقبضتُ رِجلي، فإذا قام بسطتُهما، قالت: والبيوتُ يومئذٍ ليس فيها مصابيحُ
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kedua kakiku berada di arah kiblat beliau. Ketika Rasulullah sujud, beliau memijat kakiku (untuk memberi isyarat). Maka, aku pun menekuk kakiku. Ketika Rasulullah berdiri, aku luruskan kembali. Dan rumah kami ketika itu tidak ada lampu.” (HR. Bukhari no. 382, Muslim no. 512)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyentuh kaki Aisyah ketika sedang salat dan Rasulullah tidak membatalkan salatnya.
Kesimpulannya, menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudu sama sekali, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat. Namun, masalah ini adalah masalah yang longgar, kita menghormati pendapat lain yang berbeda. Karena perbedaan ini juga terjadi di tengah para salaf sebagaimana telah disebutkan di atas.
Adapun perkataan yang mengatakan bahwa wudu batal jika menyentuh wanita non-mahram dan tidak batal jika menyentuh istri atau wanita mahram, ini belum kami ketahui landasan dalilnya serta siapa ulama yang mengatakannya.