Cara Mengeritik Dalam Ajaran Islam

Mengeritik merupakan salah satu bentuk komunikasi yang bertujuan untuk memberikan masukan atau koreksi terhadap sesuatu yang dianggap kurang tepat. Dalam ajaran Islam, mengeritik memiliki adab dan tata cara tertentu agar kritik yang disampaikan dapat diterima dengan baik tanpa melukai perasaan orang lain.

Maka dari itu dalam Islam kita mengenal istilah etika, yang dalam konteks kritik ini, etika sangatlah dibutuhkan. Dengan tujuan kritik yang disampaikan ini menjadi sebuah solusi sekaligus pembanding yang baik dari persoalan maupun permasalahan yang dikritisi. Lantas bagaimana Islam mengatur terkait etika kritik ini, dan bagaimanakah jika kritik tersebut disampaikan kepada seorang pemimpin?

Arti Etika dan Kritik

Etika secara etimologi bermakna adat kebiasaan, watak, sikap, dan cara berpikir. Secara terminologi etika adalah suatu yang menyangkut hal-hal aturan dalam sebuah wilayah yang memiliki nilai dan menjelaskan tentang baik dan buruk.

etika dalam Islam dikenal dengan akhlak. Istilah akhlak menjadi kata kunci dalam pembahasan etika dalam Islam. Kata akhlak sudah seringkali dibahas dalam Al-Qur’an maupun hadits. Kata akhlak berasal dari kata khuluk yang berarti perangai, kelakuan, watak dasar, kebiasaan, peradaban yang baik.

Sedangkan yang dimaksud kritik ialah memisahkan. Yakni, memisahkan antara yang benar (haq) dengan yang salah (batil). Secara spesifiknya kritik bisa diartikan sebagai sebuah ciri pembeda dari suatu pendapat terhadap pendapat lain yang berdasarkan pengamatan dan penganalisaan, kemudian menginterpretasikan terhadap suatu posisi pro atau kontra dengan objek yang dikritik.

Kritik dalam Islam sejatinya bukan lagi menjadi hal yang baru, jika kita menilik sejarah awal mula Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Islam hadir untuk mengeritik kondisi masyarakat pra Islam (Arab jahiliah). Islam datang untuk merespons atau mengkritik adat kebiasaan masyarakat Arab jahiliah pada masa itu melalui risalah Nabi Muhammad SAW.

3 Etika Kritik Dalam Islam
1. kritik yang disampaikan bertujuan untuk menasehati dan saling mengingatkan

قَالَ يٰقَوْمِ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كُنْتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَرَزَقَنِيْ مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰكُمْ عَنْهُۗ اِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُۗ وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِۗ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ

Artinya: “Dia (Syuʻaib) berkata, “Wahai kaumku, jelaskan pendapatmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan Dia menganugerahiku rezeki yang baik (pantaskah aku menyalahi perintah-Nya). Aku (sebenarnya) tidak ingin berbeda sikap denganmu (lalu melakukan) apa yang aku sendiri larang. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan sesuai dengan kesanggupanku. Tidak ada kemampuan bagiku (untuk mendatangkan perbaikan) melainkan dengan (pertolongan) Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.” (QS. Al-Hud: 88)

Maka dari itu seseorang yang akan mengeritik hendaknya dapat melepaskan diri dari berbagai kepentingan, sebab jika terdapat tujuan-tujuan tertentu akan sulit menjaga objektivitas, dan tidak dapat berfikir dengan jernih.

2. kritik harus disampaikan dengan cara yang sopan

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Artinya: “Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali ‘Imran: 159)

Lebih-lebih yang kita nasihati adalah seorang pemimpin, yang secara hirarki sosial lebih tinggi daripada kita. Maka dari itu kita menyampaikan kritiknya harus dengan bahasa yang sopan dan cara yang baik.

3. jangan sampai memiliki prasangka buruk terhadap seseorang yang akan kita kritik

عَنْ أَبِي بَكَرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ «مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ».

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Bakrah ia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memuliakan pemimpin di dunia, maka Allah akan memuliakan nya di akhirat. Namun barang siapa merendahkan (menghina) pemimpin di dunia, maka Allah akan merendahkannya di akhirat.” (HR. Al-Turmidzi No. 2224)

Sedangkan hadits yang secara eksplisit melarang seorang muslim untuk menghina kepada pemimpinnya, dapat tergambarkan dalam sabda Nabi berikut,

«مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ».

Artinya: “Barang siapa merendahkan (menghina) pemimpin di dunia, maka Allah akan merendahkannya di akhirat.” (HR. Al-Turmidzi No. 2224)

Selain melarang menghina pemimpin, Nabi Muhammad SAW juga melarang umatnya memberontak kepada pemimpin. Meskipun pemimpin tersebut dzalim dengan tujuan amar ma’ruf nahi mungkar, sangat tidak diperbolehkan. Karena hal itu akan menimbulkan perpecahan bahkan pertumpahan darah.