Grup Inses Terungkap, MUI Ajak Bangsa Kembali pada Nilai-Nilai Agama

Jakarta – Terbit: 22 Mei 2025

Masyarakat Indonesia kembali dikejutkan oleh kabar mencengangkan: sebuah grup Facebook bernama Fantasi Sedarah yang diduga mempromosikan dan mendukung hubungan inses (hubungan sedarah) berhasil diungkap oleh pihak kepolisian. Lebih memprihatinkan, grup ini telah memiliki sekitar 32.000 akun aktif yang tergabung di dalamnya.

Menanggapi fenomena ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan sikap tegas. Ketua Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga (KPRK) MUI, Siti Ma’rifah, menyampaikan keprihatinannya yang mendalam terhadap kondisi ini. Ia menilai keberadaan komunitas seperti ini adalah bentuk penyimpangan yang nyata terhadap nilai agama, norma sosial, dan etika kemanusiaan.

“Aparat penegak hukum harus segera menutup akun-akun yang berkaitan dengan komunitas sedarah dan memberikan sanksi hukum yang tegas kepada para pelaku,” tegas Ma’rifah, seperti dikutip dari Republika.

Ia juga mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak hanya mengecam, tetapi juga mengambil langkah konkret: membangun kembali ketahanan keluarga dengan nilai-nilai agama sebagai fondasinya. Keluarga, menurutnya, adalah tempat pertama dan utama bagi anak-anak mengenal kasih sayang, etika, serta moralitas. “Keluarga semestinya menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi semua anggotanya. Anak-anak kita harus dilindungi fisik dan jiwanya agar tumbuh menjadi generasi yang bermartabat dan berakhlakul karimah,” tambahnya.

Dalam perspektif Islam, hubungan sedarah bukan sekadar tabu sosial, melainkan dosa besar yang dilarang keras dalam Al-Qur’an. Dalam surah An-Nisa ayat 23, Allah SWT dengan tegas mengharamkan pernikahan dan hubungan seksual dengan kerabat dekat seperti ibu, saudara kandung, anak, bibi, dan sebagainya. Ayat ini menjadi rambu jelas bahwa inses bertentangan dengan fitrah manusia dan ajaran agama.

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu…” (QS. An-Nisa: 23)

Melihat kenyataan ini, kita diingatkan bahwa kemajuan teknologi dan media sosial bukan hanya membawa manfaat, tapi juga potensi kerusakan moral jika tidak disertai pengawasan dan pendidikan karakter yang kuat. Masyarakat, terutama orang tua, guru, dan tokoh agama, perlu lebih aktif menanamkan nilai keimanan dan kesadaran akhlak sejak dini.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai agama dan budaya, sudah saatnya kita kembali ke akar—menjadikan agama bukan hanya formalitas, tapi fondasi dalam berpikir dan bertindak. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mari kita jadikan peristiwa ini sebagai peringatan, bukan hanya untuk mengutuk penyimpangan, tapi untuk bangkit memperbaiki diri dan keluarga. Karena sejatinya, perubahan bangsa dimulai dari rumah kita masing-masing.