Kisah Abu Hanifah dan Bisyr Dalam Urusan Perdagangan Yang Jujur

Dalam sejarah Islam, ada begitu banyak kisah ulama yang tak hanya menorehkan prestasi dalam ilmu, tetapi juga menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah Imam Abu Hanifah—seorang ulama besar, pendiri mazhab Hanafi, yang juga dikenal sebagai pedagang sukses. Namun lebih dari sekadar seorang pengusaha, Abu Hanifah adalah sosok yang mengajarkan bahwa keberkahan harta tak datang dari besarnya keuntungan, melainkan dari kejujuran dan ketulusan dalam mencarinya.

Suatu hari, Imam Abu Hanifah mengirim rekannya, Bisyr ibn Matta, untuk menjualkan kain sutra di pasar. Ada tujuh puluh potong kain yang akan dijual, dan di antaranya terdapat satu potong kain yang memiliki cacat. Abu Hanifah, yang sangat berhati-hati dalam urusan halal dan haram, berpesan kepada Bisyr, “Ingat, di antara kain-kain itu ada yang cacat. Jika kamu menjualnya, pastikan pembeli tahu keadaannya.”

Bisyr menerima amanah itu dan berangkat. Namun saat transaksi dilakukan, ia lupa menyampaikan bahwa ada kain yang tidak sempurna. Semua kain pun laku terjual, termasuk kain yang cacat itu, tanpa ada penjelasan kepada pembelinya.

Ketika kembali, Bisyr menceritakan hasil penjualan. Imam Abu Hanifah bertanya, “Apakah kamu sudah memberitahu pembeli tentang kain yang rusak itu?” Bisyr hanya bisa terdiam, menyadari kekhilafannya.

Apa yang dilakukan Abu Hanifah setelah itu sungguh luar biasa. Ia tidak hanya menyesalkan kejadian tersebut, tetapi memutuskan untuk menyedekahkan seluruh hasil penjualan, termasuk keuntungan dari kain yang dijual secara tidak transparan. Ia tidak ingin sepeser pun harta yang ada padanya bersumber dari sesuatu yang tidak jelas atau syubhat. Padahal secara bisnis, nilai transaksi itu sangat besar. Namun baginya, keberkahan jauh lebih bernilai daripada keuntungan materi.

Dari kisah ini, kita belajar bahwa kejujuran bukan hanya soal ucapan, tapi juga tentang keberanian untuk bertanggung jawab atas amanah yang kita emban. Imam Abu Hanifah mengajarkan bahwa menjaga hati dan harta dari yang tidak halal adalah wujud ketakwaan yang sesungguhnya. Dan saat ada keraguan dalam harta, jalan terbaik adalah membersihkannya melalui sedekah.

Yuk Bersihkan Harta Dengan Sedekah Daging! Klik.

Sedekah bukan hanya tentang memberi kepada yang membutuhkan, tapi juga tentang membersihkan diri dari hal yang meragukan. Ia adalah cara kita mengembalikan harta kepada Sang Pemilik, agar yang tinggal dalam genggaman kita hanyalah yang benar-benar halal dan diberkahi.

Hari ini, ketika kita menjalani hidup di tengah dunia yang serba cepat dan kompetitif, kisah Abu Hanifah terasa seperti oase—mengingatkan bahwa kejujuran masih dan akan selalu menjadi nilai yang tak ternilai. Bahwa dalam setiap rezeki yang kita terima, ada bagian yang bukan hanya untuk dinikmati, tapi juga untuk dibersihkan dan dibagikan.

Jika Imam Abu Hanifah rela menyedekahkan seluruh hasil jualannya demi menjaga kehormatan hati dan kehalalan harta, maka kita pun bisa memulai dari hal kecil. Memberi sedikit dari yang kita punya, dengan hati yang lapang, bisa menjadi jalan turunnya rahmat dan berkah dalam hidup.

Karena sesungguhnya, bukan banyaknya harta yang membuat kita cukup, tapi keberkahannya.