Di tengah padang tandus yang tak berpenghuni, Nabi Ibrahim meninggalkan istri tercintanya, Hajar, dan putra mereka yang masih bayi, Ismail. Perintah itu datang langsung dari Allah, meski terasa begitu berat di hati. Hajar, yang tak tahu-menahu maksud kepergian suaminya, bertanya dengan cemas, “Apakah Allah yang memerintahkan ini?” Ibrahim mengangguk pelan. Dengan keimanan yang teguh, Hajar menjawab, “Kalau begitu, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” Kalimat itu bukan hanya sebuah kepasrahan, tapi juga cerminan keyakinan yang dalam, bahwa Allah senantiasa menjaga hamba-Nya.
Waktu berlalu, dan Ismail tumbuh menjadi anak yang saleh dan kuat. Suatu malam, Ibrahim mendapat mimpi yang mengguncang batinnya. Dalam mimpi itu, ia diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri. Sebagai seorang nabi, ia tahu bahwa mimpi itu adalah wahyu dari Allah. Namun sebagai seorang ayah, hati mana yang tak hancur oleh ujian seberat itu? Ketika ia menceritakan mimpinya kepada Ismail, sang anak menjawab dengan keteguhan luar biasa, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Ibrahim dan Ismail pun berjalan bersama menuju tempat penyembelihan. Bayangkan, seorang ayah yang akan mengorbankan putra satu-satunya, dan seorang anak yang siap menyerahkan nyawanya demi ketaatan kepada Tuhan. Ketika keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim membaringkan Ismail, turunlah seruan dari langit yang menggugurkan segala beban di hati: “Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.” Allah mengganti Ismail dengan seekor hewan sembelihan yang besar sebagai bentuk penghargaan atas keimanan dan kepatuhan mereka.
Kisah ini bukan hanya tentang pengorbanan, tapi tentang cinta yang suci antara seorang ayah dan anak, serta ketundukan mutlak kepada kehendak Ilahi. Dalam momen itulah, iman diuji dalam bentuk yang paling berat: meninggalkan yang paling dicintai demi yang paling dipercaya, yaitu Allah. Tidak ada paksaan, tidak ada keraguan—hanya keikhlasan yang penuh cahaya.
Di masa setelahnya, Ibrahim dan Ismail kembali bersatu dalam proyek besar yang akan dikenang sepanjang zaman. Bersama-sama mereka membangun Ka’bah, rumah ibadah pertama di muka bumi. Sambil mengangkat fondasi bangunan itu, mereka berdoa agar amal mereka diterima. Kebersamaan itu bukan hanya fisik, tapi juga spiritual; sebuah perjalanan ayah-anak yang dipenuhi keikhlasan dan cinta suci untuk Tuhannya.
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail menjadi warisan spiritual bagi umat manusia, terutama bagi kaum Muslimin. Ia menjadi dasar dari ibadah haji dan perayaan Idul Adha, momen di mana kita diajak kembali merenungi arti pengorbanan, keikhlasan, dan keteguhan iman. Ini bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi cermin yang merefleksikan sejauh mana kita siap menempatkan cinta kepada Allah di atas segalanya.