Setiap tahunnya, umat Islam merayakan dua hari besar: Idul Fitri dan Idul Adha. Jika Idul Fitri dikenal sebagai “lebaran maaf maafan”, maka Idul Adha kerap disebut oleh sebagian masyarakat sebagai “lebaran haji”. Tapi pernahkah kita bertanya, kenapa Idul Adha disebut seperti itu? Apa hubungannya dengan ibadah haji?
Istilah “lebaran haji” muncul karena Idul Adha memang bertepatan dengan pelaksanaan ibadah haji di tanah suci Makkah. Saat umat Islam di berbagai penjuru dunia merayakan Idul Adha dengan sholat dan menyembelih hewan kurban, jutaan jamaah haji sedang menjalankan puncak rangkaian ibadah haji, seperti wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan melempar jumrah di Mina.
Idul Adha sendiri berasal dari bahasa Arab, “‘Id al-Adhā”, yang berarti “hari raya kurban”. Namun, dalam keseharian masyarakat Indonesia, istilah “lebaran haji” terasa lebih dekat dan mudah dipahami. Ini karena pada hari itu, biasanya ada keluarga, tetangga, atau kerabat yang sedang menunaikan haji. Maka, suasana hari raya pun terasa lebih spesial.
Selain itu, salah satu ibadah utama yang dilakukan pada Idul Adha adalah penyembelihan hewan kurban. Ini merupakan bentuk mengenang kisah Nabi Ibrahim AS yang diuji kesetiaannya oleh Allah dengan perintah untuk mengorbankan anaknya, Ismail AS. Namun, Allah menggantinya dengan seekor hewan. Kisah ini juga menjadi bagian penting dari rangkaian manasik haji.
Karena kaitan erat antara Idul Adha dan haji, istilah “lebaran haji” menjadi cara masyarakat mengidentifikasi momen sakral ini. Meski tidak semua orang bisa menunaikan haji, semangat berkorban, kepasrahan kepada Allah, dan kepedulian sosial melalui kurban bisa dirasakan oleh seluruh umat Islam di manapun berada.
Jadi, meskipun secara istilah agama yang benar adalah Idul Adha, tidak salah jika kita menyebutnya “lebaran haji”. Sebab pada akhirnya, keduanya membawa pesan yang sama: tentang pengorbanan, ketaatan, dan kasih sayang yang harus terus hidup dalam diri setiap Muslim.