Mimpi merupakan bagian dari pengalaman manusia yang penuh misteri. Dalam tradisi Islam, mimpi memiliki posisi yang penting, terutama pada masa kenabian. Namun, kedudukannya berubah setelah wahyu ditutup dengan wafatnya Nabi Muhammad ﷺ. Artikel ini membahas perbedaan mendasar antara mimpi di zaman Rasulullah dan mimpi pada masa kini.
Pada zaman Rasulullah ﷺ, mimpi memiliki peran penting dalam penyampaian wahyu dan informasi gaib. Sebelum wahyu turun secara langsung melalui Malaikat Jibril, Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama dalam bentuk mimpi yang benar. Dalam hadis disebutkan: “Wahyu pertama yang datang kepada Rasulullah adalah mimpi yang benar dalam tidur. Tidaklah beliau bermimpi kecuali datang seperti fajar yang menyingsing.” (HR. Bukhari). Ini menunjukkan bahwa mimpi, dalam konteks kenabian, merupakan bagian dari wahyu ilahi.
Selain Nabi Muhammad, para nabi terdahulu juga menerima wahyu melalui mimpi. Contoh paling terkenal adalah Nabi Ibrahim AS, yang diperintahkan menyembelih putranya melalui mimpi. Karena mimpi para nabi adalah wahyu, Ibrahim pun langsung menaati perintah itu tanpa keraguan, akhirnya muncullah perintah untuk berqurban. Ini menegaskan bahwa di zaman kenabian, mimpi bisa memiliki kekuatan hukum yang pasti dan bersifat ilahi.
Namun setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, wahyu pun berhenti. Maka mimpi di zaman sekarang tidak lagi dianggap sebagai wahyu, sekalipun terlihat indah, bermakna, atau menyerupai pesan ilahi. Rasulullah bersabda: “Tidak ada lagi kenabian setelahku, kecuali mubashshirat.” Para sahabat bertanya: “Apa itu mubashshirat?” Beliau menjawab: “Mimpi baik yang dilihat oleh seorang Muslim.” (HR. Bukhari). Ini menunjukkan bahwa mimpi sekarang hanya bisa dianggap sebagai kabar gembira, bukan dasar hukum atau perintah dari Allah.
Di masa kini, mimpi dikelompokkan dalam tiga jenis: dari Allah (mimpi baik), dari setan (mimpi buruk), dan dari pikiran sendiri. Meskipun mimpi baik bisa memberi semangat atau menjadi inspirasi, ia tidak bisa dijadikan landasan hukum atau keputusan hidup yang pasti. Semua tindakan tetap harus berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan bimbingan ulama, bukan mimpi semata.
Dengan demikian, perbedaan utama antara mimpi di zaman Rasulullah dan sekarang terletak pada fungsinya. Dahulu, mimpi bisa menjadi wahyu dan petunjuk yang mengikat. Sekarang, mimpi hanya sebagai bagian dari pengalaman spiritual yang bersifat pribadi dan tidak mutlak benar. Umat Islam hendaknya tetap menempatkan mimpi dalam porsinya: sebagai hiburan, refleksi diri, atau kabar baik, bukan sebagai dasar bertindak tanpa landasan syariat yang kuat.