Bagaimana Umat Muslim Merayakan Idul Adha di Negara Minoritas?

Bagi sebagian besar Muslim di negara mayoritas Islam, Idul Adha adalah hari raya yang terasa di udara. Takbir menggema dari masjid-masjid, jalanan penuh aktivitas, dan bau khas daging kurban memenuhi lingkungan. Tapi bagi jutaan Muslim yang tinggal di negara-negara minoritas, Idul Adha hadir dengan wajah yang berbeda, lebih tenang, lebih sunyi, namun tidak kalah bermakna.

Di banyak negara, Idul Adha bukan hari libur nasional. Tak ada cuti otomatis, tak ada perayaan publik, bahkan tak banyak orang di sekitar yang tahu bahwa hari itu adalah momen penting dalam kehidupan umat Islam. Maka, para Muslim di negara seperti Jepang, Korea Selatan, Brasil, atau sebagian besar negara Eropa dan Amerika, harus merancang cara mereka sendiri untuk merayakannya.

Banyak dari mereka bangun pagi-pagi sekali untuk salat Ied, biasanya di taman, aula sewaan, atau lapangan terbuka yang jauh dari pusat kota. Setelah salat, sebagian besar harus segera kembali ke rutinitas: pergi kerja, kuliah, mengurus rumah. Namun, meski hanya memiliki sedikit waktu untuk merayakan, semangatnya tetap utuh. Bahkan, bagi sebagian orang, keterbatasan itulah yang membuat Idul Adha terasa lebih dalam.

Tantangan lain yang sering muncul adalah soal kurban. Tidak semua negara mengizinkan penyembelihan hewan di luar fasilitas resmi. Karena itu, sebagian Muslim menitipkan kurban mereka kepada lembaga kemanusiaan untuk disalurkan ke tempat lain, ke kamp pengungsian, desa miskin, atau wilayah konflik. Bagi mereka, ini bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tapi cara menjaga semangat berbagi dalam kondisi yang tidak ideal.

Meski dalam jumlah kecil dan keterbatasan ruang, komunitas Muslim minoritas tetap berusaha menjaga kebersamaan. Mereka mengadakan makan bersama, memasak daging kurban, dan bahkan mengundang tetangga non-Muslim untuk ikut merasakan suasana hari raya. Dalam lingkup yang sempit, tumbuh rasa persaudaraan lintas budaya. Perayaan yang sederhana justru menjadi ruang perjumpaan yang hangat antara iman dan toleransi.

Di tengah kesunyian itu, ada keteguhan yang mungkin tak terlihat. Ketika seseorang tetap memilih salat Ied meski harus berangkat kerja setelahnya, ketika anak-anak Muslim tetap mengenakan pakaian terbaik meski teman sekolahnya tak melakukan hal yang sama, atau ketika keluarga memilih berkurban di negara lain demi tetap berbagi,  di sanalah letak makna kurban yang sesungguhnya.

Idul Adha di negara minoritas mungkin tak dipenuhi gema takbir yang ramai, tapi ia tetap hidup dalam niat dan tindakan kecil yang tulus. Tidak semua orang melihatnya, tapi bagi yang menjalani, setiap detiknya adalah ibadah. Karena merayakan tidak selalu soal besar atau meriah. Kadang, ia hadir dalam bentuk paling sunyi dan paling jujur.