Kisah Rasulullah dan Anak Yatim di Hari Raya

Salah satu teladan terbesar dari Rasulullah ﷺ adalah kelembutan dan kepeduliannya kepada anak yatim. Bukan sekadar pengajaran lisan, tapi beliau sendiri adalah seorang anak yatim yang kehilangan ayah sejak belum lahir dan ditinggal ibunya di usia 6 tahun. Maka tak heran, dalam setiap dakwahnya, anak yatim mendapat tempat yang sangat mulia dan dijaga kehormatannya.

Kisah Terkenal: Anak Yatim yang Menangis di Hari Raya

Hari itu, kota Madinah diliputi kebahagiaan. Gema takbir terdengar dari berbagai penjuru, menandakan datangnya hari raya Idul Fitri. Anak-anak berlarian di jalanan, mengenakan pakaian terbaik mereka, dengan wajah ceria menikmati makanan yang disajikan oleh keluarga masing-masing.

Namun, di sudut jalan yang sepi, seorang anak laki-laki duduk sendirian. Pakaiannya lusuh, tubuhnya kurus, dan wajahnya tertunduk. Ia menatap anak-anak lain yang bersuka cita dengan pandangan kosong dan mata yang nyaris menangis.

Rasulullah ﷺ yang kebetulan melintas melihat pemandangan itu. Hati beliau yang penuh kasih tak bisa membiarkan seorang anak bersedih di hari yang seharusnya penuh suka cita. Beliau pun menghampiri anak tersebut dan duduk di sampingnya.

Dengan suara lembut, Rasulullah ﷺ bertanya,

“Wahai anakku, mengapa engkau duduk sendiri di sini dan bersedih? Di mana orang tuamu?”

Anak itu menoleh perlahan, lalu menjawab dengan suara lirih,

“Ayahku telah syahid dalam peperangan bersama engkau, wahai Rasulullah. Ibuku menikah lagi dan meninggalkanku. Aku tak punya pakaian bagus, tidak punya makanan, dan tak ada yang mengajakku merayakan hari ini…”

Mendengar itu, Rasulullah ﷺ menahan tangisnya. Beliau memeluk anak itu dan berkata dengan penuh cinta,

“Wahai anakku, maukah engkau jika aku menjadi ayahmu? Aisyah menjadi ibumu, Fatimah menjadi kakakmu, dan Hasan serta Husain menjadi saudaramu?”

Anak itu menatap Rasulullah dengan mata yang kini mulai berkaca-kaca—namun kali ini bukan karena sedih, melainkan haru. Ia tersenyum, lalu memeluk Rasulullah dengan erat.

Rasulullah ﷺ pun membawanya pulang. Di rumah, anak itu dimandikan, diberi pakaian bersih, dan disuguhkan makanan. Ia duduk bersama keluarga Nabi, tertawa dan menikmati hari raya seperti anak-anak lainnya. Hari itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa memiliki keluarga.

Hari itu, ia tak lagi merasa yatim. Karena ia telah dipeluk oleh utusan Allah, manusia paling mulia yang menjadikannya anak, bukan karena darah, tapi karena cinta.

Sumber Kisah

Kisah ini merupakan bagian dari kisah populer dalam literatur Islam yang dimuat di berbagai kitab, seperti:

  • Nashaih al-‘Ibad karya Syekh Nawawi al-Bantani

  • Mukhtashar Qashash al-Anbiya’

  • Buku teladan anak-anak dan kisah motivasi Islam

Walaupun tidak disebutkan dalam hadits dengan sanad shahih, kisah ini dibenarkan secara makna, karena sejalan dengan akhlak Rasulullah ﷺ dan dikuatkan dengan hadits-hadits shahih lain tentang menyayangi anak yatim, seperti:

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim di surga seperti ini,”
sambil merapatkan jari telunjuk dan jari tengah.
(HR. Bukhari)